Selasa, 25 Mei 2010

Kekuatan dari Sebuah Harapan

Dengan Harapan, Mari Jadikan Hidup Kita Lebih Indah

Masih terekam di benak saya ketika awal mulai menjadi Pemandu LKMM dan membawakan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa di kampus. Pada waktu itu, saya sering membawakan pelatihan duet dengan Mbak Erlin (mentor saya yang sangat luar biasa dan sangat menginspirasi).

Satu hal yang paling saya kagumi dari beliau adalah separah apapun kondisi raw material (peserta), beliau selalu punya harapan yang tinggi bahwa peserta akan menjadi lebih baik seusai mengikuti pelatihan yang diberikan.

Dan hasilnya memang benar, hampir sebagian besar para peserta yang pernah ikut dalam pelatihan yang diberikan oleh Mbak Erlin (termasuk saya), berubah menjadi lebih baik.

Seakan-akan ada sebuah kekuatan tidak terlihat dalam setiap harapan yang dimiliki oleh mbak Erlin, yang sanggup menggerakkan hati dan raga untuk selalu bergerak dan memberikan yang terbaik hingga hasilnya pun maksimal. Sekali lagi kekuatan sebuah harapan.

Berbicara soal harapan, ada sebuah cerita menarik tentang lilin harapan. Mungkin Anda ada yang sudah pernah mendengarnya.

Dikisahkan ada 4 buah lilin yang menyala, sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi hingga terdengarlah percakapan mereka.

Kegelisahan Manusia

Kehidupan manusia sekarang ini semakin maju, didukung dengan teknologi yang semakin memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitas dan kehidupannya sehari-hari. Gerak manusia semakin cepat, setiap aktivitas yang dikerjakan dikontrol oleh agenda yang senantiasa dibawa serta, mereka merasa selalu diburu waktu seakan waktu 24 jam sehari tidaklah cukup. Kehidupan seakan berjalan seperti rutinitas yang senantiasa harus dilakukan untuk mencapai 'tujuan hidup', tanpa menyampingkan hal lain, seperti kesehatan dan kebutuhan spiritual, hanya terfokus pada pekerjaan dengan dipenuhi oleh pikiran kesenangan yang akan didapat di masa yang akan datang.

Di balik itu semua, secara jujur, maukah Anda mengakui bahwa Anda merasa gelisah? Apakah kadang Anda merasa takut dan susah hati menjalani hidup yang itu-itu saja? Kalau jawabannya 'ya', jangan khawatir, karena itu adalah hal yang wajar dialami oleh manusia bahkan mungkin sampai saat kematian menghampirinya.

Kegelisahan dan kesedihan merupakan suatu kejahatan kembar yang datang beriringan dan bergandengan. Mereka hidup bersama-sama di dunia ini. Jika Anda gelisah, maka Anda akan merasa susah dan sedih, begitu pun sebaliknya. Kadangkala kita berupaya untuk menghindari mereka, lari dari kenyataan, tetapi tetap saja mereka akan senantiasa hadir dalam diri kita. Kejahatan kembar ini bukan untuk dihindari, tetapi bukan berarti kita membiarkan mereka untuk mengalahkan kita. Kita harus mengatasi mereka dengan usaha kita sendiri, dengan kemantapan hati dan kesabaran, dengan pengertian benar dan kebijaksanaan.

Kegelisahan yang timbul dalam diri kita sebenarnya dibuat oleh kita sendiri, kita ciptakan mereka di dalam pikiran kita melalui ketidakmampuan ataupun kegagalan untuk mengerti bahaya perasaan

Pandangan Hidup Kita...

Segala sesuatunya berhulu pada pandangan-hidup. Kita akan menganut prinsip-hidup yang bersesuaian dengannya, dan Kitapun akan menganut pola-pikir yang bersesuaian dengan prinsip-hidup Kita itu. Oleh karenanya berhati-hatilah di dalam mengadopsi sebentuk pandangan-hidup tertetu. Ia akan secara signifikan sangat menentukan jalan-hidup Anda secara keseluruhan. Apapun agama yang kita anut lantaran kelahiran, awalnya, kita mungkin belum punya sebentuk pandangan-hidup tertentu yang pasti. Kita masih menjalani hidup secara coba-coba, dengan meraba-raba. Di dalam menjalaninya selama ini, mungkin kita telah tabrak-sana-tabrak-sini, sampai dengan menemukan sebentuk pandangan-hidup yang ‘rasanya cocok’, sesuai dengan kondisi fisiko-mental kita. Namun, kita mesti selalu ingat kalau kendati sesuatu ‘rasanya cocok’, ia belum tentu juga baik buat kita. Apa yang kita perlukan untuk menjalani hidup ini bukanlah yang ‘rasanya cocok’ atau yang kita senangi, melainkan yang baik dan mendatangkan kebaikan buat kita dan orang lain; bahkan bila mungkin, ia juga bisa mendatangkan kebaikan buat sebanyak-banyaknya orang. Disinilah kita perlu amat berhati-hati.

Kondisi fisiko-mental kita selalu berubah-ubah. Sesuatu yang tadinya terasa amat cocok, bisa berubah drastis kini; sesuatu yang kini terasa amat cocok, bisa samasekali tidak cocok besok. Sementara itu pandangan-hidup tidaklah bisa serta-merta dirubah-rubah untuk selalu disesuaikan dengannya. Sekedar untuk bisa menerima dan meresapi suatu pandangan-hidup tertentu saja, tidaklah mudah dan butuh tak sedikit waktu. Singkatnya, kita hendak mengadopsi sesuatu yang tidak sekedar ‘rasanya cocok’, namun yang jelas-jelas baik buat kita dan sebanyak-banyaknya orang. Tapi jangan salah lagi disini; ‘sesuatu yang baik buat sebanyak-banyaknya orang’, bukan saja belum tentu baik juga buat kita, namun ia tidak berarti bahwa kita harus ikut-ikutan menganut pandangan-hidup yang dianut oleh banyak orang. Sebab, sangat boleh jadi mereka menganutnya hanya lantaran terlahir dan terjebak di

Tentang Pengorbanan

Pada suku-suku di Pegunungan Tengah Papua–seperti suku Dani, Yali, dan lain-lain–mengorbankan anggota tubuh ketika ada angota famili yang meninggal dunia adalah sebuah tradisi yang dipertahankan beratus-ratus tahun lamanya. Pengorbanan ini biasanya berupa pemotongan jari. Potong jari ini hanya dilakukan jika famili terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, atau saudara kandung meninggal dunia.

“Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik.”

Pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Yulianus Joli Hisage, 2005). Itulah yang mendasari pengorbanan yang mereka lakukan. Bagi warna Pegunungan Tengah yang sangat menjunjung tinggir arti keluarga, pengorbanan ini berarti pengungkapan rasa kepedihan yang mendalam dan juga sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terulang kembalinya malapetaka yang telah merenggut nyawa familinya tersebut.

Anand Krishna pernah berujar bahwa kesadaran sama halnya dengan merelakan satu anggota badan untuk menyelamatkan seluruh badan kita. Jika merelakan sebagian anggota tubuh kita adalah sebuah bentuk pengorbanan, apakah pengorbanan itu perlu?

Tentu kita akan kembali ke pertanyaan: “untuk apa sebenarnya kita berkorban?”

Para brahmana dan guru spiritual di India pada zaman dahulu selalu menceritakan sebuah kisah mengenai pengorbanan. Bahkan Gautama Buddha pun pernah berkhotbah mengenai kisah ini.

Tentang Kejujuran

Arti jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.


Kenapa harus jujur?

Saya sering mendengar orang tua menasehati anak supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang, akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. Tapi setelah mencoba merenungkan dan menyelami permasalahan kejujuran ini, saya masih merasa tidak mengerti: "Kenapa jadi orang harus jujur?"

Umumnya jawaban yang saya dapat adalah bahwa kejujuran adalah hal yang sangat baik dan positif, dan kadang saya juga mendapat jawaban bahwa "Pokoknya jadi orang harus jujur!"


Apakah Fobia itu...????

Setiap orang tentunya pernah mempunyai rasa takut, biasanya berhubungan dengan suatu malapetaka atau bahaya yang mengancam dan menimbulkan rasa emosi yang tidak nyaman, cemas, kuatir, pucat, berkeringat, rambut-rambut menjadi berdiri, pupil yang membelalak, jantung berdebar, tekanan darah meninggi, aliran darah meningkat kedalam otot, pernapasan memburu, frekuensi dari buang air seni dan air besar meningkat, semuanya disebabkan sekresi adrenalin yang meningkat didalam darah. Keadaan takut ini apabila melampaui ketahanan seseorang dapat menimbulkan rasa akan pingsan dan dapat pingsan dimana saja.

Rasa takut itu merupakan sinyal alami yang dicetuskan apabila ada bahaya bagi makhluk hidup dan keturunannya, sehingga dapat dengan cepat mengadakan suatu aksi untuk menghindar. Rasa takut juga dapat memberikan motivasi untuk belajar dan melaksanakan suatu tugas sosial. Namun, rasa takut yang berlebihan dapat menghalangi pelaksanaan tugas secara baik.

Dengan adanya rasa takut yang berbeda-beda tiap orang, baik jenis maupun kualitasnya seringkali kita mendengar seseorang mengatakan istilah ’fobia’ bagi seseorang yang mempunyai ketakutan yang khas. Misalnya ia fobia ketinggian, ia fobia darah, dll. Sebenarnya apa itu fobia? Apa yang menyebabkan seseorang mempunyai fobia tertentu? Bagaimana cara mengatasinya? Karena kadang kala fobia tersebut sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

Fobia berasal dari istilah Yunani ’phobos’ yang berarti lari (fight), takut dan panik (panic-fear), takut hebat (terror). Istilah ini memang dipakai sejak zaman hippocrates.

Celcus menggunakan dalam kata majemuk hidro-fobia yang sama dengan rabies.