Pada suku-suku di Pegunungan Tengah Papua–seperti suku Dani, Yali, dan lain-lain–mengorbankan anggota tubuh ketika ada angota famili yang meninggal dunia adalah sebuah tradisi yang dipertahankan beratus-ratus tahun lamanya. Pengorbanan ini biasanya berupa pemotongan jari. Potong jari ini hanya dilakukan jika famili terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, atau saudara kandung meninggal dunia.
“Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik.”
Pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Yulianus Joli Hisage, 2005). Itulah yang mendasari pengorbanan yang mereka lakukan. Bagi warna Pegunungan Tengah yang sangat menjunjung tinggir arti keluarga, pengorbanan ini berarti pengungkapan rasa kepedihan yang mendalam dan juga sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terulang kembalinya malapetaka yang telah merenggut nyawa familinya tersebut.
Anand Krishna pernah berujar bahwa kesadaran sama halnya dengan merelakan satu anggota badan untuk menyelamatkan seluruh badan kita. Jika merelakan sebagian anggota tubuh kita adalah sebuah bentuk pengorbanan, apakah pengorbanan itu perlu?
Tentu kita akan kembali ke pertanyaan: “untuk apa sebenarnya kita berkorban?”
Para brahmana dan guru spiritual di India pada zaman dahulu selalu menceritakan sebuah kisah mengenai pengorbanan. Bahkan Gautama Buddha pun pernah berkhotbah mengenai kisah ini.
Dikisahkan bahwa seorang brahmana tersesat di gunung bersalju selama berhari-hari, tanpa makanan dan minuman. Di tengah udara dingin yang menusuk, ia jatuh pingsan. Seekor beruang, rubah, dan kelinci melihat sang brahmana tergelak di tanah dan memutuskan untuk menolongnya dengan mencarikan makanan. Si beruang pergi ke sungai dan menangkap ikan. Si rubah menggali di salju dan menemukan buah-buahan dan dedaunan yang bisa dimakan. Si kelinci mencari ke segala arah, namun kembali dengan tangan hampa.
Setelah sang brahmana tersadar dari pingsannya, si kelinci memintanya agar membuat api. Ketika api telah membesar, si kelinci menyadari bahwa makanan yang dibawa oleh si beruang dan rubah tentu tidak cukup agar sang brahmana dapat bertahan hidup. Maka akhirnya si kelinci melemparkan dirinya ke dalam api sehingga tubuhnya dapat dimakan oleh sang brahmana.
Sang brahmana akhirnya terguncang dengan peristiwa tersebut, ia menangis di depan tubuh si kelinci. Dikatakan bahwa roh si kelinci terbang ke langit dan mendapat tempat yang mulia. Sang brahmana ketika turun gunung akhirnya mencapai pencerahan karena peristiwa tersebut.
Dan hari ini, umat Islam sedunia merayakan hari raya Idul Adha. Sebuah hari raya di mana diadakannya ritus qurban (kurban), yaitu menyembelih hewan ternak seperti sapi, kambing, atau domba yang akan dibagikan kepada mereka yang berhak. Tradisi kurban ini merujuk pada peristiwa ujian iman dan pengorbanan putra Abraham (Ibrahim).
Tuhan bersabda kepada Abraham, “ambillah putramu itu, yang engkau kasihi. Pergilah ke tanah Moria dan persembahkan dia di sana sebagai korban bakaranmu kepada-Ku.”
Abraham tentu berada dalam suasana hati yang gundah, ketika harus mengorbankan putra kesayangannya. Bagaimana mungkin seorang ayah rela membunuh darah dagingnya sendiri. Namun akhirnya karena imannya yang kuat dan diperkuat pula dengan kerelaan dan kepatuhan dari putranya tersebut, maka mantaplah tekad Abraham untuk mengorbankan anak kesayangannya.
Sesaat sebelum belati Abraham menyentuh leher putranya, Tuhan menggantikan putra Abraham dengan seekor domba jantan. Sehingga domba itulah yang akhirnya disembelih oleh Abraham. Sang putra Abraham yang hendak dikorbankan, Ismael–dalam penafsiran Islam–atau Ishak–menurut kepercayaan Yahudi dan Kristen–luput dari pengorbanan dan lantas tumbuh dewasa menjadi tokoh besar seperti ayahnya.
Peristiwa adalah salah satu bentuk ujian terberat bagi manusia–tentu tanpa menyebutkan pengorbanan Kristus di tiang salib–ketika Tuhan memerintahkannya untuk membunuh anak kandungnya sendiri. Abraham dan putranya rela mengorbankan diri demi perintah Tuhan, dan akhirnya mereka mendapat ganjaran atas kuatnya iman.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, di dalam kebudayaan manapun, pengorbanan–terlebih lagi terkait ranah religi–hampir tidak pernah absen. Apapun bentuknya. Tak hanya pengorbanan berbentuk fisik atau yang konkrit dan empiris saja, tapi bisa juga berupa yang abstrak seperti perilaku, waktu, atau pikiran. Dan, setiap saat kita selalu berkorban. Kita mengorbankan hal-hal yang kita pikir kurang jika kita mendapatkan yang lebih.
Dan kita akan kembali lagi ke pertanyaan: “untuk apa sebenarnya kita berkorban?”
Seperti yang telah dituturkan sebelumnya, warga Pegunungan Tengah Papua mengorbankan jari mereka sebagai rasa duka yang mendalam dan pengharapan agar tragedi serupa yang menyebabkan nyawa familinya hilang tidak terulang lagi. Si kelinci dalam kisah brahmana mengorbankan dirinya agar sang brahmana tidak mati kelaparan di gunung. Abraham mengorbankan putranya dan sang putra rela mengorbankan dirinya adalah karena perintah Tuhan.
Untuk apa sebenarnya kita berkorban? Ya, ada banyak alasan, seperti kisah dan peristiwa sebelumnya. Namun jika boleh disederhanakan, jer basuki mawa beya, semua keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Maksudnya adalah pengorbanan adalah untuk keberhasilan. Entah keberhasilan diri sendiri, keberhasilan orang lain, keberhasilan banyak orang, dan lain-lain.
Ujar Anand Krishna lagi, pengorbanan membutuhkan pelayanan. Maka lakukan pelayanan terbaik yang bisa dilakukan, sebuah puncak tindakan pelayanan. Di hari ini, membeli hewan ternak untuk dikorbankan, mengawasi prosesnya hingga selesai, dan melayani mereka yang berhak dengan sepenuhnya. Tidak lantas menikmati sendiri apa yang dikorbankan. Selain atas perintah Tuhan, tentu pengorbanan hari ini adalah untuk orang banyak, untuk mereka yang berhak.
Pengorbanan yang dikatakan pengorbanan adalah kada mambuang taruh, yakni pengorbanan yang tidak sia-sia.Hidup itu perlu pengorbanan, semua apa saja di dunia ini tidak dapat kita nikmati tanpa adanya sebuah pengorbanan, karene semua memang sudah sesuai dengan hukum alam yang terjadi atas kita semua. Manusia ingin makan dia mesti berjuang untuk mendapatkan makan itu, atau kita pengen dapatkan kesenangan semua juga dengan sebuah perjuangan yang tidak ringan.
Perjuangan yang ditempuh dalam mencapai tujuan itu beragam juga rintangan yang dihadapi, ada yang mudah, tapi ada juga yang sebaliknya sulitnya minta ampun untuk mendapatkannya, bahkan mungkin saking sulitnya ibarat sudah sampai menangis darah belum juga didapatkannya. Inilah sebuag gambaran pengorbanan dalam hidup yang tidak mudah dilampaui oleh kita semua
Jelas sekali kita pahami bahwa pengorbanan itu diperlukan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan, banyak pula orang yang masih saja menginginkan semua dia capai tanpa pengorbanan yang susah payah, dengan cara yang instant, ambil contoh saja banyak orang yang pengen cepat jadi selebritis akhirnya banyak pula yang berbodong bondong ikut casting acara penyaringan bakat di TV, dengan tujuan mendapatkan letenaran dalam waktu yang singkat.
Marilah kita ingat, pahami dan pedomi dengan benar dalam hidup, apapun yang dikerjakan janganlah pernah berfikir semua dengan instant, karena sesungguhnya banyak sekali yang instant itu justru membuat kita tidak mendapatkan yang diinginkan tapi sebaliknya akan terjebak dengan kondisi yang akhirnya merugikan diri kita sendiri akibat ketidak sabaran diri karena ingin cepat mencapai tujuan itu tadi
Sekali lagi percayalah, jangan mengejar yang instant, lalui saja semua yang ada sesuai dengan hukum alam yang berlaku dalam diri kita, karena sesungguhnya apapun pengorbanan yang kita laksanakan walaupun kata orang gagal, itu bukanlah sebuah kegagalan, tapi langkah awal kita menuju yang kita inginkan, walaupun awalnya adalah sebuah kegagalan. Karena dari kegagalan itulah kita akan ditempa untuk lebih baik lagi dalam melakukan sesuatu itu, sehingga suatu saat outpunya bukanlah lagi sebuah kegagalan tapi berupa kesuksesan sesuai yang diinginkan
Tetap semangat dan tidak berputus asa adalah kunci yang terbaik dalam mencapai sebuah kesuksesan dari pengorbanan yang telah dikerjakan oleh diri kita ini, semoga kita selalu berevaluasi diri tentang semua pengorbanan yang telah kita lakukan apapun itu supaya mendapatkan keberhasilan yang nyata.
“Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik.”
Pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Yulianus Joli Hisage, 2005). Itulah yang mendasari pengorbanan yang mereka lakukan. Bagi warna Pegunungan Tengah yang sangat menjunjung tinggir arti keluarga, pengorbanan ini berarti pengungkapan rasa kepedihan yang mendalam dan juga sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terulang kembalinya malapetaka yang telah merenggut nyawa familinya tersebut.
Anand Krishna pernah berujar bahwa kesadaran sama halnya dengan merelakan satu anggota badan untuk menyelamatkan seluruh badan kita. Jika merelakan sebagian anggota tubuh kita adalah sebuah bentuk pengorbanan, apakah pengorbanan itu perlu?
Tentu kita akan kembali ke pertanyaan: “untuk apa sebenarnya kita berkorban?”
Para brahmana dan guru spiritual di India pada zaman dahulu selalu menceritakan sebuah kisah mengenai pengorbanan. Bahkan Gautama Buddha pun pernah berkhotbah mengenai kisah ini.
Dikisahkan bahwa seorang brahmana tersesat di gunung bersalju selama berhari-hari, tanpa makanan dan minuman. Di tengah udara dingin yang menusuk, ia jatuh pingsan. Seekor beruang, rubah, dan kelinci melihat sang brahmana tergelak di tanah dan memutuskan untuk menolongnya dengan mencarikan makanan. Si beruang pergi ke sungai dan menangkap ikan. Si rubah menggali di salju dan menemukan buah-buahan dan dedaunan yang bisa dimakan. Si kelinci mencari ke segala arah, namun kembali dengan tangan hampa.
Setelah sang brahmana tersadar dari pingsannya, si kelinci memintanya agar membuat api. Ketika api telah membesar, si kelinci menyadari bahwa makanan yang dibawa oleh si beruang dan rubah tentu tidak cukup agar sang brahmana dapat bertahan hidup. Maka akhirnya si kelinci melemparkan dirinya ke dalam api sehingga tubuhnya dapat dimakan oleh sang brahmana.
Sang brahmana akhirnya terguncang dengan peristiwa tersebut, ia menangis di depan tubuh si kelinci. Dikatakan bahwa roh si kelinci terbang ke langit dan mendapat tempat yang mulia. Sang brahmana ketika turun gunung akhirnya mencapai pencerahan karena peristiwa tersebut.
Dan hari ini, umat Islam sedunia merayakan hari raya Idul Adha. Sebuah hari raya di mana diadakannya ritus qurban (kurban), yaitu menyembelih hewan ternak seperti sapi, kambing, atau domba yang akan dibagikan kepada mereka yang berhak. Tradisi kurban ini merujuk pada peristiwa ujian iman dan pengorbanan putra Abraham (Ibrahim).
Tuhan bersabda kepada Abraham, “ambillah putramu itu, yang engkau kasihi. Pergilah ke tanah Moria dan persembahkan dia di sana sebagai korban bakaranmu kepada-Ku.”
Abraham tentu berada dalam suasana hati yang gundah, ketika harus mengorbankan putra kesayangannya. Bagaimana mungkin seorang ayah rela membunuh darah dagingnya sendiri. Namun akhirnya karena imannya yang kuat dan diperkuat pula dengan kerelaan dan kepatuhan dari putranya tersebut, maka mantaplah tekad Abraham untuk mengorbankan anak kesayangannya.
Sesaat sebelum belati Abraham menyentuh leher putranya, Tuhan menggantikan putra Abraham dengan seekor domba jantan. Sehingga domba itulah yang akhirnya disembelih oleh Abraham. Sang putra Abraham yang hendak dikorbankan, Ismael–dalam penafsiran Islam–atau Ishak–menurut kepercayaan Yahudi dan Kristen–luput dari pengorbanan dan lantas tumbuh dewasa menjadi tokoh besar seperti ayahnya.
Peristiwa adalah salah satu bentuk ujian terberat bagi manusia–tentu tanpa menyebutkan pengorbanan Kristus di tiang salib–ketika Tuhan memerintahkannya untuk membunuh anak kandungnya sendiri. Abraham dan putranya rela mengorbankan diri demi perintah Tuhan, dan akhirnya mereka mendapat ganjaran atas kuatnya iman.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, di dalam kebudayaan manapun, pengorbanan–terlebih lagi terkait ranah religi–hampir tidak pernah absen. Apapun bentuknya. Tak hanya pengorbanan berbentuk fisik atau yang konkrit dan empiris saja, tapi bisa juga berupa yang abstrak seperti perilaku, waktu, atau pikiran. Dan, setiap saat kita selalu berkorban. Kita mengorbankan hal-hal yang kita pikir kurang jika kita mendapatkan yang lebih.
Dan kita akan kembali lagi ke pertanyaan: “untuk apa sebenarnya kita berkorban?”
Seperti yang telah dituturkan sebelumnya, warga Pegunungan Tengah Papua mengorbankan jari mereka sebagai rasa duka yang mendalam dan pengharapan agar tragedi serupa yang menyebabkan nyawa familinya hilang tidak terulang lagi. Si kelinci dalam kisah brahmana mengorbankan dirinya agar sang brahmana tidak mati kelaparan di gunung. Abraham mengorbankan putranya dan sang putra rela mengorbankan dirinya adalah karena perintah Tuhan.
Untuk apa sebenarnya kita berkorban? Ya, ada banyak alasan, seperti kisah dan peristiwa sebelumnya. Namun jika boleh disederhanakan, jer basuki mawa beya, semua keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Maksudnya adalah pengorbanan adalah untuk keberhasilan. Entah keberhasilan diri sendiri, keberhasilan orang lain, keberhasilan banyak orang, dan lain-lain.
Ujar Anand Krishna lagi, pengorbanan membutuhkan pelayanan. Maka lakukan pelayanan terbaik yang bisa dilakukan, sebuah puncak tindakan pelayanan. Di hari ini, membeli hewan ternak untuk dikorbankan, mengawasi prosesnya hingga selesai, dan melayani mereka yang berhak dengan sepenuhnya. Tidak lantas menikmati sendiri apa yang dikorbankan. Selain atas perintah Tuhan, tentu pengorbanan hari ini adalah untuk orang banyak, untuk mereka yang berhak.
Pengorbanan yang dikatakan pengorbanan adalah kada mambuang taruh, yakni pengorbanan yang tidak sia-sia.Hidup itu perlu pengorbanan, semua apa saja di dunia ini tidak dapat kita nikmati tanpa adanya sebuah pengorbanan, karene semua memang sudah sesuai dengan hukum alam yang terjadi atas kita semua. Manusia ingin makan dia mesti berjuang untuk mendapatkan makan itu, atau kita pengen dapatkan kesenangan semua juga dengan sebuah perjuangan yang tidak ringan.
Perjuangan yang ditempuh dalam mencapai tujuan itu beragam juga rintangan yang dihadapi, ada yang mudah, tapi ada juga yang sebaliknya sulitnya minta ampun untuk mendapatkannya, bahkan mungkin saking sulitnya ibarat sudah sampai menangis darah belum juga didapatkannya. Inilah sebuag gambaran pengorbanan dalam hidup yang tidak mudah dilampaui oleh kita semua
Jelas sekali kita pahami bahwa pengorbanan itu diperlukan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan, banyak pula orang yang masih saja menginginkan semua dia capai tanpa pengorbanan yang susah payah, dengan cara yang instant, ambil contoh saja banyak orang yang pengen cepat jadi selebritis akhirnya banyak pula yang berbodong bondong ikut casting acara penyaringan bakat di TV, dengan tujuan mendapatkan letenaran dalam waktu yang singkat.
Marilah kita ingat, pahami dan pedomi dengan benar dalam hidup, apapun yang dikerjakan janganlah pernah berfikir semua dengan instant, karena sesungguhnya banyak sekali yang instant itu justru membuat kita tidak mendapatkan yang diinginkan tapi sebaliknya akan terjebak dengan kondisi yang akhirnya merugikan diri kita sendiri akibat ketidak sabaran diri karena ingin cepat mencapai tujuan itu tadi
Sekali lagi percayalah, jangan mengejar yang instant, lalui saja semua yang ada sesuai dengan hukum alam yang berlaku dalam diri kita, karena sesungguhnya apapun pengorbanan yang kita laksanakan walaupun kata orang gagal, itu bukanlah sebuah kegagalan, tapi langkah awal kita menuju yang kita inginkan, walaupun awalnya adalah sebuah kegagalan. Karena dari kegagalan itulah kita akan ditempa untuk lebih baik lagi dalam melakukan sesuatu itu, sehingga suatu saat outpunya bukanlah lagi sebuah kegagalan tapi berupa kesuksesan sesuai yang diinginkan
Tetap semangat dan tidak berputus asa adalah kunci yang terbaik dalam mencapai sebuah kesuksesan dari pengorbanan yang telah dikerjakan oleh diri kita ini, semoga kita selalu berevaluasi diri tentang semua pengorbanan yang telah kita lakukan apapun itu supaya mendapatkan keberhasilan yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar